Manusia
tumbuh dengan pilihan. Pilihan yang diciptakannya sendiri atau pilihan dari
orang lain. Beberapa pilihan itu dapat menjadi jalan hidup yang benar namun
dapat pula “menyesatkan”. Kebanyakan, pilihan dibuat secara sadar namun ada pula
dengan paksaan. Keduanya bisa berakibat positif & negative tergantung dari
sudut pandang mana kita melihat. Pilihan
secara sadar atau yang dipilihkan oleh orang lain adalah salah satu alasan adanya
WTS (Wanita Tuna Susila) atau PSK
(Pekerja Seks Komersial). Arti WTS menurut KBBI adalah seseorang yang mempunyai
mata pencaharian dengan cara memberikan pelayanan seksual di luar perkawinan
kepada siapa saja dari jenis kelamin berbeda yang tujuannya adalah untuk mendapatkan
imbalan berupa uang.
Stigma
masyarakat akan “arti” WTS menjadikan “pekerjaan” itu dinilai buruk oleh
masyarakat, di satu sisi wanita yang berprofesi sebagai pelacur disebut
“pekerja”, tetapi di sisi lain pekerjaan itu tidak pernah mendapat
perlindungan, bahkan diobrak-abrik “lingkungan” kerjanya. Tuntutan hidup dan
kurangnya lapangan kerja untuk
masyarakat berpendidikan rendah adalah salah satu dari beberapa penyebab mereka
memilih jalan hidup seperti ini. Sebagian lagi, pekerja seks adalah korban pelarian dari KDRT
dan beberapa ada yang ditinggal suami baik meninggal atau pergi dari rumah. Namun,
pemerintah masih menganggap pelacuran sebagai akibat dari human trafficking yang kebanyakan diawali dengan penawaran bekerja
sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) di kota atau luar negeri, namun nyatanya
mereka dijual kepada mucikari dan akhirnya ketika mereka sudah terjual dan
ingin lari, mereka tidak tahu harus kemana dan akhirnya menjadikan pekerjaan
tersebut sebagai jalan hidup mereka. Mereka
menemui situasi tak berdaya dan butuh uang secara instan. Sebuah pilihan bukan
paksaan.
Dari
cara bekerjanya, WTS terbagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu terorganisir dan tidak
terorganisir. Bila terorganisir, WTS tersebut berada dalam pengawasan germo,
mucikari atau mami yang dipekerjakan dalam lokalisasi, panti pijat plus-plus
atau tempat-tempat yang mengusahakan wanita panggilan. Aktivitas mereka
bergantung pada orang-orang yang dapat menghubungkan dengan pelanggan dan dapat
meminimalisir dari kondisi bahaya sehingga uang yang mereka terima harus dibagi
dengan “mediatornya”. Kebalikan dari pelacuran yang terorganisir, pelacuran
yang tidak terorganisir mencari pelanggannya sendiri dengan langsung
bertransaksi dipinggir jalan. Mereka berada di jalan, menjadi ayam kampus,
wanita panggilan, dls. Posisi mereka sangat lemah bila menghadapi pelecehan
maupun bahaya. Namun, hasil yang mereka dapatkan akan tetap utuh karena tidak
ada pembagian dengan germo. Meskipun pilihan tersebut dilakukan secara sadar,
para WTS masih memiliki keinginan kuat untuk meninggalkan pekerjaannya dan mendapat pekerjaan yang lebih baik. Dimana
mereka tidak perlu sembunyi-sembunyi, malu ataupun mempunyai perasaan bersalah
yang akan tetap terus mengahantui mereka.
Bekerja
sebagai PSK dianggap melanggar norma dan moralitas, namun sebagai individu
mereka tidak dapat terlepas dari lingkungan sosialnya. Untuk itu diperlukan
adanya proses penyesuaian diri. dalam interaksinya mereka berusaha menutupi
pekerjaan sebagai PSK, terutama di lingkungan keluarga dan tempat tinggal,
untuk menghindari keterasingan dari lingkungan tersebut. Penyesuaian diri yang
dilakukan bersifat pasif, mereka menyesuaikan diri dengan bersikap dan
bertingkah laku layaknya individu lain di lingkungan tersebut. Ditinjau dari
teori Haber dan Runyon, penyesuaian diri yang mereka lakukan tidak memenuhi
keseluruhan karakteristik penyesuaian diri yang sehat.
Jawa
Timur sebagai salah satu Provinsi di Indonesia dengan jumlah penduduk ± 37 juta
jiwa, provinsi ini tidak terlepas dari adanya WTS. Berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Biro Kesejahteraan Rakyat & Dinas Sosial Provinsi di Jawa
Timur tahun 2012, dari 38 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur, tersebar ± 44 lokalisasi
dan terdapat 6.782 orang yang bekerja sebagai WTS dan 970 orang sebagai
mucikari.
Sebagai
wujud dari perhatian pemerintah terhadap masyarakat, beberapa program
pemerintah telah digulirkan untuk mengurangi jumlah WTS. Salah satunya adalah
program dari Dinas Sosial Prov. Jawa Timur yaitu Program Rehabilitasi Sosial
Wanita Tuna Susila. Untuk tahun 2012 ini program dilaksanakan dibeberapa
lokasi, yaitu Kabupaten Malang, Mojokerto dan Kota Surabaya. Dana yang diambil
terdiri dari PAPBD dan APBN. Program ini terbagi 2 (dua), yaitu program regular
dan percepatan. Untuk program reguler dilaksanakan dalam waktu 6 (enam) bulan
& percepatan 3 (tiga) bulan. Dalam program ini, WTS diberi pelatihan dan
ketrampilan seperti menjahit, salon, sablon dan memasak. Setelah program ini
selesai, para WTS dibekali bantuan stimulant berupa peralatan, bahan dan modal
usaha. Diharapkan setelah pelatihan ini, para WTS bisa kembali hidup normal dan
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masyarakat
sebagai agen perubahan (agent of change)
diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menuntaskan masalah ini. Meskipun
pemerintah dalam Pasal 34 UUD 1945 telah “dipasrahkan” untuk mengatasi berbagai
macam masalah social, namun tanpa dukungan masyarakat tidak akan berarti
apa-apa. Partisipasi masyarakat dan penerimaan yang positif terhadap WTS atau
bekas WTS akan mampu memudahkan mereka kembali ke kehidupan normal & lebih
baik.
Sumber :
2. Pembahasan
tentang WTS oleh MUHAMMAD FAKHRURROZI
3. Majalah Kick
Andy edisi April 2012
4. Kamus Besar
bahasa Indonesia
5. Data dari Biro Kesejahteraan Rakyat & Dinas Sosial Prov. Jawa Timur