|
sumber : tribunnews.com |
Anak luar biasa atau penyandang cacat menurut Rahardja (2003:6) diartikan sebagai ”anak yang memiliki kelainan fisik, emosi, mental, sosial, atau gabungan dari kelainan tersebut yang sifatnya sedemikian rupa sehingga memerlukan layanan pendidikan secara khusus”. Dalam konteks pendidikan khusus, anak luar biasa diartikan sebagai peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Anak penyandang cacat haruslah dipenuhi kebutuhan pendidikannya. Kesalahan-kesalahan yang ada di dalam keluarga akan membuat pemenuhan kebutuhan menjadi tidak efektif lagi. Untuk anak cacat kebutuhan pendidikan software digunakan dalam semua jenis kecacatan, namun untuk hardware diberikan sesuai jenis kecacatan yang dimiliki oleh anak tersebut. Contohnya untuk tunanetra dengan pemberian alat untuk menulis Braille (mesin tik, kertas, jarum), tunarungu dengan memberikan alat bantu dengar, kaca, dan buku-buku berbahasa isyarat, terakhir untuk tunagrahita yaitu ala tulis seperti pensil, buku, dan lain sebagainya.
Anak cacat sendiri mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, karena itu diperlukan adanya perbedaan-perbedaan kelas, sehingga pemberian pendidikan pun akan menjadi mudah. Dibawah ini akan dijelaskan tentang jenis-jenis anak penyandang cacat:
a. Tunanetra (A)
Tunanetra diartikan sebagai orang yang memilki ketajaman penglihatannya 20/200 feet atau lebih kecil pada mata yang terbaik setelah dikoreksi dengan mmpergunakan kacamata, atau ketajaman penglihatannya lebih bailn pendidikan dapat diartikan sebagai orang yang karena kelainan penglihatannya, mereka harus diajari dengan mempergunakan Braille. Siswa yang partially sighted dalam perspektif ini adalah anak yang masih mempunyai sisa penglihatan sehingga mereka dapat membaca huruf cetak apakah huruf cetak yang dibesarkan atau dengan mempergunakan kaca pembesar dengan sinar khusus.
Menurut Somantri (1996:52-53), anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:
1) Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas
2) Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
3) Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak
4) Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan
Berdasarkan acuan tersebut, maka anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam,
a) Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)
b) Low Vision
Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21 feet, atau anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.
Anak tunanetra memiliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik, dan kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini sangat bergantung pada sejak kapan anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, bagaimana usianya, serta bagaimana tingkat pendidikannya.
Secara ilmiah, ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah itu faktor dalam diri anak (internal) ataupun faktor dari luar anak (eksternal). Termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal ialah faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit shipilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga mengenai sistem syarafnya, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, atau virus.
Penyandang tunanetra sering dipandang sebagai individu yang memilki ciri khas, diantaranya secara fisik penyandang tunanetra dapat dicirikan dengan tongkat, dog, guide, menggunakan kacamata gelap, dan ekspresi wajah tertentu yang datar. Secara sosiologis, penyandang tunanetra juga sering dicirikan dengan mengikuti sekolah-sekolah khusus, jarang bekerja di lingkungan industri, dan secara ekonomis memiliki sifat ketergantungan yang tinggi. Sedangkan secara psikologis mereka sering dicirikan dengan pemilikan indera superior terutama dalam hal perabaan, pendengaran, dan daya ingatannya. Secara umum orang awas juga berpendapat bahwa penyandang tunanetra memiliki masalah pribadi dan sosial yang lebih besar dibandingkan dengan orang awas.
Bagi anak tunanetra, ia harus mempelajari lingkungan sekitarnya dengan menyentuh dan merasakannya. Selain itu, untuk mengetahui objek, mereka mengetahui dengan cara mendengarkan suaranya. Namun, itu semua tidak menjadikan intelegensi mereka menjadi lemah atau kurang. Dalam pendidikan formal, anak tunanetra dibagi dalam beberapa kelas sesuai jenjang pendidikannya. Dikarenakan mereka tidak ber-IQ rendah, maka banyak anak tunanetra yang dimasukkan dalam kelas anak yang normal (inklusi), namun hanya pada pelajaran tertentu. Anak tunanetra memakai huruf braille dalam membaca kata-kata untuk dipelajari, caranya dengan menyentuh huruf itu dan membaca tanda-tanda yang berupa titik timbul. Mereka juga diajarkan untuk memakai mesin ketik untuk orang normal dan cacat itu sendiri. Dari kegiatan mempelajari lingkungan tersebut, anak tunanetra mempunyai tingkat menghapal yang sangat bagus. Jadi ketika menulis, berjalan di lingkungan sekitar, mereka tidak merasakan adanya kesusahan.
Untuk pendidikan informal, keluarga menganggap bahwa anak tunanetra masih bisa di didik lebih baik dari jenis kecacatan lainnya. Pemenuhannya bisa dengan jalan menjelaskan kepada mereka apa yang terjadi di lingkungannya, baik dan buruk dalam bersikap, adab, dan sopan santun. Pendidikan agama yang berupa gerakan sholat dan mengaji mereka pelajari dengan menghafalkannya. Gerakan sholat diberikan dengan jalan dia harus merasakan gerakan yang diberikan kepada tubuh mereka. Contohnya gerakan ruku’, maka bisa dengan jalan menyuruh mereka membungkuk.
Dalam pemenuhan pendidikan non-formal, anak tunanetra dapat diajarkan keterampilan dalam hal kesenian yaitu menyanyi. Bisa saja dengan alat musik, yang not-notnya sudah dihafalkan terlebih dahulu. lain yang diajarkan adalah pijat atau massage, biasanya SLB akan mengirimkan anak didiknya untuk melanjutkan pendidikan di Malang atau Bandung dan mereka akan mendapatkan semacam sertifikat sehingga mereka bisa bekerja sebagai tukang pijat. Biasanya anak tunanetra lebih menonjol di bidang menyanyi, dikarenakan salah satu funsi indera tidak bekerja, maka indera yang lain menjadi lebih baik. Harapan orang tua dari anak tunanetra yang memasukkan anaknya ke SLB agar paling tidak mereka bisa mengerti tentang apa yang perlu diketahuinya walaupun mereka tidak bisa melihat dan juga mempuyai pengetahuan yang dapat berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain
b. Tunarungu (B)
Dalam mendefinisikan tunarungu ditinjau dari sudut pandang kebutuhan pendidikan, adalah penting untuk mempertimbangkan antara beratnya kehilangan pendengaran dan usia terjadinya ketulian yang diperoleh seseorang. Beratnya ketulian sangat penting dalam menentukan penggunaan sisa pendengaran yang mungkin masih dimiliki oleh anak. Usia terjadinya ketunarunguan merupakan suatu pertimbangan yang harus dikritasi, karena bagaimanapun ada hubungannya dengan perkembangan bahasa.
Batasan tentang tunarungu dipergunakan untuk menggambarkan mereka yang termasuk apakah tuli atau kurang dengar. Kurang dengar adalah tunarungu, apakah permanen atau berubah-ubah, yang berpengaruh terhadap pendidikan yang tidak termasuk ke dalam kelompok tuli. Tuli diartikan sebagai tunarungu yang cukup berat sehingga anak mempunyai kesulitan dalam melakukan proses informasi linguistik melalai pendengaran, dengan atau tanpa alat bantu dengar, yang berpengaruh terhadap pendidikan.
Klasifikasi menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk kepentingan pendidikan ketunarunguan menurut Dwidjosumarto (1990:1) dalam Soemantri (1996:76) diklasifikasikan sebagai berikut:
Tingkat I Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 45 dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus
Tingkat II Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB, penderitanya kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus. Dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara, dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.
Tingkat III Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 dB sampai 89 dB; dan
Tingkat IV Kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.
Penderita dari kedua kategori terakhir ini dikatakan mengalami tuli. Dalam kebiasaan sehari-hari mereka sekali adanya latihan berbicara, mendengar, berbahasa dan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat III samapi tingkat IV pada hakekatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Perkembangan kemampuan bahasa dan komunikasi anak tunarungu terutama yang tergolong tuli tentu tidak mungkin untuk sampai pada penguasaan bahasa melalui pendengarannya, melainkan harus melalui penglihatannya dana memanfatkan sisa pendengarannya. Oleh sebab itu komunikasi bagi anak tunarungu mempergunakan segala aspek yang ada pada anak tunarungu tersebut. Adapun berbagai media komunikasi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
1) Bagi anak tunarungu yang mampu bicara tetap menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana penerimaan dari pihak tunarungu.
2) Menggunakan media tulisan dan membaca sebagai sarana penerimaannya.
3) Menggunakan isyarat sebagai media.
Perhatian akan kebutuhan pendidikan bagi anak tunarungu tidaklah dapat dikatakan kurang karena terbukti bahwa anak tunarungu telah banyak yang mengikuti pendidikan sepanjang lembaga pendidikan ini dapat dijangkaunya. Persoalan baru yang perlu mendapat perhatian jika anak tunarungu tetap saja harus sekolah pada sekolah khusus (SLB) akan timbul permasalahan bahwa anak-anak yang tempat tinggalnya jauh dari SLB tentu saja mereka tidak dapat bersekolah. Usaha lain muncul adalah didirikannya asrama di samping sekolah khusus itu. Rupanya usaha ini tidak dapat diharapkan menjadi satu-satunya cara untuk menyekolahkan mereka. Usaha lain yang mungkin akan mendorong anak tunarungu dapat bersekolah dengan cepat adalah mereka mengikuti pendidikan pada sekolah normal atau biasa dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.
Anak tunarungu sekarang dimasukkan ke kelas-kelas terbang atau kelas yang berpindah-pindah sesuai dengan mata pelajaran yang diikutinya. Untuk kecacatan ini, pola pendidikannya lebih fokus pada usaha-usaha pemberian keterampilan membaca, berhitung, dan pemahaman bahasa. Sehingga di setiap kelas diberikan sebuah kaca besar untuk membantu memberikan pelajaran melalui pengucapan kata dengan menghafalkan gerak bibir, selain itu ada kelas tertentu untuk mengajarkan kosa kata dari bahasa khusus untuk tunarungu atau sering disebut bahasa kial. Kurikulum pendidikan formal untuk anak tunanetra masih mengikuti anak normal, sehingga mereka masih kesusahan dalam memahami maksud dari isi buku tersebut. Karena mereka lebih mudah belajar yang disertai dengan gambar-gambar. Untuk komunikasi, mereka menggunakan bahasa kial yaitu bahasa isyarat tangan. Pelajaran itu sudah diberikan waktu awal mereka masuk sekolah agar mereka dapat berkomunikasi dengan teman-teman yang lainnya. Yang paling penting dalam pendidikan formal adalah pemberian pelajaran khusus mengenai keteramplan bersuara mirip dengan anak normal dan memang itu harus dipaksankan.
Pemberian pendidikan informal akan lebih sulit diajarkan lewat cerita-cerita saja, sehingga diperlukan adanya contoh-contoh yang dimasukkan agar anak mudah menghafal. Pendidikan yang lain seperti gerakan sholat lebih mudah dihafalkan, karena mereka dapat melihat contohnya secara langsung, namu untuk bacaan, mereka belajar dengan menghafalkan cara pengucapan. Pendidikan non-formal yang diberikan adalah keterampilan yang tidak banyak memakai fungsi bicara dan pendengaran. Seperti kegiatan menjahit, mengobras, salon, membuat makanan, dan masih banyak keterampilan lainnya. Anak tunarungu baik sekali didalam bidang menari atau olah tubuh, mereka mempelajarinya lewat ketukan. Jadi bila ada suatu acara, mereka lebih banyak diikutkan di bidang gerak tubuh. Orang tua dari anak tunarungu ini berharap agar mereka memanfaatkan apa yang masih dimilikinya yang dimaksudkan untuk bisa berkomunikasi dan mengetahui ilmu pengetahuan.
c. Tunagrahita (C)
Berbagai istilah telah banyak dipergunakan bagi anak-anak tunagrahita atau retardasi mental. Kecenderungan istilah yang sekarang dipergunakan adalah developmental disabillity daripada mental retardation. Layanan pendidikan bagi anak tunagrahita berkembang selama tahun 1950 dan 1960, para guru mempergunakan peristilahan untuk menggambarkan siswanya sesuai dengan klasifikasi akademisnya.
Cara mengelompokan yang lain telah sering dipergunakan oleh para psikolog dan dokter. Mild mental retardation, moderate mental retardation, severe mental retardation, dan profound mental retardation telah dipergunakan untuk mengklasifikasikan anak tunagrahita berdasarkan tes IQ. Sejak tahun 1992 penggunaan definisi lebih menekankan kepada adaptasi perilaku sebagai pengukuran retardasi mental dan kurang menekankan pada IQ. Definisi tersebut menggambarkan sepuluh kategori adaptasi perilaku mulai dari keterampilan berkomunikasi, keterampilan sosial, sampai keterampilan bekerja. Meskipun ada beberapa kesulitan dalam setting pendidikan, ada hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang apa yang diperlukan anak agar memperoleh keberhasilan di sekolah dan kemandiriannya di dalam hidupnya apabila memungkinkan.
Terdapat beberapa karakteristik umum anak grahita yang dapat kita pelajari sebagai berikut (Somantri, 1996:85):
1) Keterbatasan Intelegensi
Intelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar berhitung, menulis, dan membaca juga terbatas, kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
2) Keterbatasan Sosial
Anak tunagrahita memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda dari usianya, ketergantungan terhadap orangtua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi. Cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
3) Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk melaksanakan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal yang rutin yang secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan dan tugas dalam jangka waktu lama.
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi akan tetapi pusat pengolahan atau perbendaharaan kata yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Karena itu mereka membutuhkan kata-kata konkrit dan sering didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana seperti megajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir, perlu menggunakan pendekatan yang konkrit.
Selain itu, anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan buruk, benar dan salah. Ini semua karena kemampuannya yang terbatas, sehingga anak tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan. Orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Keluarga anak tunagrahita berada dalam resiko, mereka mengahadapi resiko yang berat. Saudara-saudara anak tersebut pun menghadapi hal-hal yang bersifat emosional.
Untuk anak tunagrahita, pembelajaran lebih menekankan dari kegiatan mencontoh perilaku. Dikarenakan adanya keterbatasan intelegensi, maka dalam pendidikan formal mereka lebih difokuskan untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung. Sedangkan untuk kemampuan di bidang-bidang lain seperti IPA atau IPS tidak begitu penting untuk diberikan. Karena itu pembelajaran kepada mereka diperlukan waktu yang lama dan berulang-ulang agar mereka dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh kita. Pemberian pendidikan untuk mereka harus lebih hati-hati, karena sekali kita mengajarkan hal buruk dan itu dicontohnya, maka dia akan terus mengikutinya. Dalam pendidikan informal juga begitu, mereka harus diajarkan secara terus menerus sampai hafal, karena mereka tidak bisa mempetimbangkan yang benar atau salah. Namun anak tunagrahita masih dapat diajak berbicara atau berkomunikasi yang dapat dimengerti mereka, karena tidak adanya kelainan di indera-indera mereka yang lain.
Pendidikan non-formal untuk tunagrahita adalah yang tidak banyak menggunakan fungsi otak dalam berfikir. Bisa dengan membuat kerajinan tangan, membuat keset, dan benda-benda dari kertas. Sebenarnya terdapat kesamaan dengan tunarungu, namun hanya keterampilan-keterampilan tertentu saja yang memang lebih dia mengerti. Mereka bisa diajarkan ketrampilan dalam merawat rumah seperti menyapu, menyiran tanaman, dan lain sebagainya. Sehingga mereka masih dapat berinteraksi dengan yang lain. Orang tua berkeinginan, dengan dimasukkannya anak mereka yang tunagrahita ini ke SLB agar mereka mendapat kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan pada akhirnya hidup mereka akan menjadi lebih mandiri dari sebelumnya.